WELCOME TO MY BLOG

Friday, April 15, 2011

Imbauan Pendekar – 16


Filed under: Imbauan Pendekar — Tags: — ceritasilat @ 1:36 am
Karya: Gu Long
Penerjemah: Gan KL
(Terima kasih kepada: Bagusetia, Kris_jusup, Bpranoto dan Axd002)
Sekilas melihat Lengkui, sukma Cu Lui-ji seakan-akan terbang meninggalkan raganya, ia menjerit ngeri dan takut, cepat ia memutar balik dan menjatuhkan diri di atas dipan batu.
Ia mendekap mukanya dan tidak berani memandang lagi, tapi suasana di dalam gua sunyi senyap, tiada suara apa pun.

Lama-lama ia merasa heran, perlahan ia merenggangkan jarinya dan coba mengintip ke sana melalui sela-sela jari…ia merasa pandangannya tidak terhalang oleh barang apapun, apalagi makhluk aneh yang menakutkan itu.
Mau tak mau ia menjadi ragu dan menyaksikan apa yang dilihatnya tadi hanya khayalan belaka. Padahal ia sudah bertekad akan mati untuk menebus kesalahannya.
Maka untuk kedua kalinya ia berbangkit, dengan nekat ia menerjang lagi ke dinding sana.
Akan tetapi, sama juga seperti tadi, yang tertumbuk olehnya tetap benda dingin serupa es tipis itu, waktu ia menengadah, kembali dilihatnya wajah seram Lengkui sedang menyeringai padanya.
Bedanya sekali ini adalah Lengkui itu telah buka suara, “Lengkui paling takut mati, sebab itulah iapun tidak menghendaki orang lain mati, lebih-lebih anak perempuan cantik semacam kau ini.”
Sedapatnya Lui-ji menabahkan hati, ia mendongak dan berkata, “Tadi jelas-jelas kau tidak berada dalam goa, mengapa sekarang kau berada di sini? Darimana kau muncul secara mendadak begini?”
Lengkui tertawa, katanya, “Rupanya kau lupa siapa diriku, aku ini Lengkui, setan ajaib, kalau mau datang segera bisa datang, jika mau pergi seketika dapat pergi. Kalau tidak percaya, boleh coba kau lihat lagi, sekarang.”
Habis berkata, benarlah, mendadak ia menghilang tanpa bekas, seperti telah berubah menjadi kabut asap yang sukar diraba dan dilihat.
Tapi hanya sekejap kemudian, tahu-tahu Lengkui sudah muncul kembali di bawah remang cahaya lampu yang seram itu, berdiri di situ dengan tertawanya yang mengerikan itu.
“Jangan tertawa, jangan tertawa” jerit Lui-ji terkejut. “Aku paling takut melihat tertawamu itu.”
“Tapi Lengkui hanya bisa tertawa, kalau menangis tambah menakutkan,” kata Lengkui tetap dengan menyeringai.
“Jika begitu, lekas pergi kau, lekas enyah!” teriak Lui-ji sambil mengucurkan airmata. “Ku jemu melihat mukamu, muak melihat cecongormu!”.
“Apakah kau tetap ingin mati?” tanya Lengkui.
“Itu urusanku, perduli apa dengan kau? Lekas enyah!” teriak Lui-ji.
“Tapi Lengkui harus perduli, kalau tidak bila kepalamu hancur menumbuk dinding, kan segalanya bisa runyam?”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara “grat-gret” di atas gua, suara batu besar digeser.
“Siapa itu di luar?” bentak Lengkui sambil mendongak.
Akan tetapi suasana lantas sunyi senyap, tiada suara jawaban apapun.
Lengkui berpaling dan memandang Lui-ji sekejap, dilihatnya anak dara itu juga lagi pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat, tampaknya juga heran dan terkejut.
Cepat Lengkui melompat keluar gua untuk memeriksa apa yang terjadi. Tapi secara cerdik mendadak ia mendongak dan menjengek, “Aha, sahabat jangan kau main licik, kau kira dengan akalmu memancing harimau meninggalkan sarangnya, lalu dengan leluasa akan kau tolong anak dara ini dan dibawa lari. Tapi nyatalah salah besar perhitunganmu, kaupun salah sasaran, sebab selamanya Lengkui tidak dapat ditipu.”
“Bagus, jika begitu, biarlah ku turun ke situ dan coba-coba menempur kau,” mendadak seseorang menanggapi dengan suara ketus dibagian atas sana.
Tidak kepalang girang Lui-ji, sebab segera dikenalnya suara itu, jelas itu suara Hong Sam, Hong saceknya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong menyambar tiba angin kencang, pelita minyak yang guram itu hampir saja padam, lalu terang lagi. Habis itu didalam gua tahu-tahu sudah bertambah satu orang lagi.
Memang betul, Hong Sam telah muncul di situ.
“Sacek!…” teriak Lui-ji dengan kegirangan meski air mata pun bercucuran.
Segera ia bermaksud menubruk ke pelukan Hong Sam, akan tetapi Lengkui telah merintanginya sambil menyeringai.
“Creng”, Hong Sam melolos pedangnya.
“Lekas kau lepaskan dia dan akan kubawa pergi dia, kalau tidak, kau yang akan kubinasakan.” bentak Hong Sam sambil menuding Lengkui.
“Hahaha, rupanya kau hendak menipu diri sendiri,” jengek Lengkui, bukankah kau tahu dengan jelas, Lengkui tidak mungkin mati, selamanya Lengkui tak dapat dibunuh mati.”
Lui-ji sangat cemas dan gelisah, iapun lupa akan rasa takut, “bret”, mendadak ia merangkul Lengkui dari belakang sambil berteriak, “Lekas, Sacek, lekas turun tangan, tabas kepalanya.”
Tanpa ayal Hong Sam angkat pedangnya dan menabas.
“Crat!” pedang Hong Sam bekerja secepat kilat, dan kepala Lengkui lantas menggelinding ke tanah di bawah berkelebatnya sinar pedang.
Tapi aneh benar, meski kepala sudah jatuh di tanah, senyuman pada wajahnya itu tetap tidak berubah, masih menyeringai terhadap Cu Lui-ji.
Tidak kepalang takut Lui-ji, ia menjerit dan menubruk ke dalam rangkulan Hong Sam.
Sambil menepuk bahu anak dara itu, Hong Sam berkata, “Lekas, kita harus cepat meninggalkan tempat ini.”
Lui-ji mengangguk dengan rada gemetar, nyata rasa takutnya belum lagi hilang.
Segera Hong Sam menarik Lui-ji dan melompat keluar gua, di luar dugaan, mendadak sesosok bayangan hitam sudah menghadang lagi dimulut gua.
Kaget mereka tidak terperikan ketika bentuk penghadang jalan itu dapat dilihat jelas oleh mereka.
Bajunya yang ringkas ketat berwarna hitam dengan ikat pinggang berwarna merah darah, terutama wajahnya yang seram dan selalu menyeringai itu.
Siapa lagi dia kalau bukan Lengkui? Padahal jelas-jelas kepala Lengkui tadi sudah tertabas putus.
Hong Sam menyurut mundur dua-tiga tindak, ia tuding Lengkui dan membentak, “Kepalamu tadi…”
“Kepalaku berada di sini!” jawab Lengkui sambil menuding kepala sendiri dan menyeringai sehingga kelihatan baris giginya yang putih, “Kepala Lengkui selalu tumbuh di atas lehernya, memangnya kau kira kepala Lengkui mudah dipenggal? Haha, apa yang kau lihat tadi tidak lebih hanya khayalan belaka.”
Mau-tak-mau Hong Sam jadi melengak, menghadapi makhluk yang tak dapat dibunuh mati selama ini, sungguh ia kehabisan akal dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya lagi.
Hong Sam coba membawa lari Lui-ji dengan Gingkangnya yang tinggi, tapi usahanya tetap gagal, Lengkui tetap masih membayanginya dari belakang, tetap sukar melepaskan diri dari kejarannya.
Dalam keadaan demikian, meski menyadari ilmu pedangnya juga tiada gunanya menghadapi makhluk yang serba aneh ini, terpaksa Hong Sam melakukan segala apa yang dapat dilakukannya dengan harapan akan timbul keajaiban dan akhirnya dapat melepaskan diri dari penguntitan lawan.
Ilmu pedang Hong Sam sekarang sudah mencapai tingkatan yang paling sempurna, tertampaklah sinar pedang gemerlapan berkelebat ke sana sini, hanya sekejap saja Lengkui sudah terkurung rapat di bawah sinar pedangnya.
Akan tetapi Lengkui tetap melayani ilmu pedangnya dengan cekatan, iapun memutar goloknya dengan sama kencangnya. Bahkan jika kewalahan, iapun tidak segan-segan menerima tusukan dan tebasan pedang Hong Sam.
Melihat pertarungan yang berlangsung dengan sengit itu, Lui-ji juga cukup cerdik, pada waktu Lengkui harus melayani serangan Hong Sam, diam-diam ia menggeser ke samping, lalu kabur ke bawah gunung secepat terbang.
Tapi meski sedang bertempur sengit, Lengkui tetap sempat berkata, “Hah, kau ingin lari di depan hidung Lengkui? Hm, sungguh kau terlalu meremehkan Lengkui.”
Baru habis ucapannya, seketika bayangan Lengkui lantas lenyap di bawah kurungan sinar pedang Hong Sam, tahu-tahu Lengkui sudah menghadang pula di depan Lui-ji.
Dalam keadaan demikian, ngeri juga Hong Sam, makin lama bertempur makin seram rasanya.
Sekarang timbul semacam pikirannya yang melemahkan semangat, jelas Lengkui tidak dapat ditumpas, dalam hal ini berarti pula selamanya Lui-ji tak bisa ditolong, biarpun Tangkwik-siansing datang sendiri juga tak berdaya.
Lalu dengan cara bagaimana agar Lengkui dapat dibasmi? Apakah tidak ada jalan lain lagi?
Betapapun Hong Sam juga tahu untuk menumpas Lengkui, yang utama harus menundukkan dulu Ki Pi-ceng yang mengendalikan Lengkui ini.
Akan tetapi ia menyadari kekuatan sendiri hanya dengan ilmu pedangnya jelas bukan tandingan Ki Pi-ceng alias Bak-giok Hujin.
Mendadak didengarnya Lui-ji menjerit, “Tolong… Sa … Sacek … tolong!…”
Kiranya waktu itu Lui-ji lagi berusaha lari, tapi telah kena dibekuk oleh Lengkui dengan cara seperti elang mencengkeram anak ayam. Bahkan dengan kecepatan luar biasa anak dara itu terus dibawa lari ke atas gunung.
Keruan Hong Sam terkejut, sekuatnya ia mengerahkan Ginkangnya dan menguber kesana.
Akan tetapi sayang Hong Sam memang cepat. Lengkui ternyata terlebih cepat, seperti angin puyuh saja, hanya dalam sekejap bayangannya sudah hilang tanpa bekas.
Kembali Hong Sam melengak.
Sayup-sayup ia mendengar suara tangisan Lui-ji dari kejauhan suaranya sangat kecil, baru terdengar segera hilang pula terbawa angin sehingga sukar baginya untuk menemukan arahnya yang pasti.
Dengan cemas Hong Sam memandang sekelilingnya sambil berlari.
Angin meniup kencang, malam tambah kelam tiada terlihat sesuatu yang mencurigakan, juga tidak mendengar sesuatu suara apa pun.
Semakin gelisah hati Hong Sam, perasaannya tertekan dan mirip terjerumus ke dalam jurang yang tak terhitung dalamnya.
Pada saat itulah, ditengah tiupan angin terdengar suara Ki Pi-ceng, “Hong-sam siansing, apakah tidak kau rasakan agak kurang sopan main seruduk dan terjang tanpa aturan di tempatku ini?”
Hanya terdengar suaranya, tapi tidak kelihatan orangnya.
“Ki-hujin,” seru Hong Sam dengan suara lantang. “Kuharap kau perlihatkan dirimu dan bicara berhadapan denganku.”
“Hm, apakah kau kira hal ini perlu?” jawab Ki Pi-ceng sambil mendengus.
“Sudah tentu perlu,” kata Hong Sam, “Kuharap kau mau menjelaskan apa alasanmu menahan Lui-ji?”.
“Alasannya sangat sederhana,” kata Ki-Pi-ceng, “Karena ku kuatir Ji-kongcu tidak menepati janji menurut waktu yang telah ditentukan”
Hong Sam menjengek, “Hm, dengan nama kebesaran Ki-hujin di dunia persilatan sekarang, tapi perlu menahan seorang anak perempuan sebagai sandera, apakah tindakanmu ini takkan ditertawakan orang Kangouw?”
“Inipun perlu melihat keadaan dan persoalannya,” jawab Ki Pi-ceng. “Sekarang kuperlakukan Cu Lui-ji sebagai tamu, sama sekali tidak kuperlakukan dia dengan kasar dan juga tidak mengganggu seujung rambutnya, kenapa mesti takut ditertawakan orang lain? Apalagi …”
“Apalagi segala perbuatanmu yang busuk sudah diketahui umum,” tukas Hong Sam. “Apa artinya jika sekarang kau lakukan lagi beberapa perbuatan busuk lainnya. Begitu bukan?”
Ki Pi-ceng tertawa, katanya, “Baiklah, anggaplah kau benar. Dan kalau kau tahu persoalannya, sekarang lekas kau pergi saja. Asalkan Ji-kongcu sudah menepati janji, tentu anak dara itu takkan kuganggu.”
“Baiklah,” teriak Hong Sam dengan gemas, semoga ucapanmu dapat dipercaya, kuberani menjamin Ji Pwe-giok pasti akan menepati janji pada waktunya nanti.”
Habis berkata, sekali melayang pergi, maka sekejap saja sudah menghilang.
—–
Tepat lohor, sang surya memancarkan cahayanya yang panas.
Di atas puncak gunung muncul sesosok bayangan putih melayang kian kemari melintasi lereng dan menyusuri selat, setelah melayang sekian lamanya, akhirnya bayangan putih itu hinggap di sebuah tanah yang datar dipinggang gunung.
Itulah seorang pemuda berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Ji Pwe-giok.
Dia berdiri tegak di tanah datar itu dan memandang sekelilingnya dengan sinar mata yang tajam.
Sunyi senyap suasana di sekitarnya.
Pegunungan ini tandus, gundul, tiada tetumbuhan apapun, yang terlihat hanya batu padas belaka, di sana sini di kaki bukit sana berserakan gundukan pekuburan.
Sampai sekian lama Ji Pwe-giok memandang sekitarnya dengan cermat, tapi tiada menemukan sesuatu yang mencurigakan, musuh ternyata tidak memasang perangkap apapun.
Hal ini rada di luar dugaan Pwe-giok, bahwa Ki Pi-ceng telah berjanji padanya akan menyelesaikan segala persoalan pada lohor ini, adalah aneh kalau tidak melakukan persiapan dan penjagaan seperlunya.
Pada saat Ji Pwe-giok merasa sangsi itulah, dari kaki gunung kembali muncul tiga sosok bayangan kelabu, semuanya menggunakan Ginkang yang tinggi, secepat terbang mereka berlari, hanya sekejap saja mereka sudah mendekati Ji Pwe-giok dan berdiri tegak disampingnya.
Ketiga orang ini adalah kedua Tangkwik bersaudara dan Hong-samsiansing.
Tangkwik Ko tidak lupa membawa kucing hitam kesayangannya, binatang itu dipondongnya dan dibelai bulunya.
“Anak muda,” tegur Tangkwik-siansing kepada Pwe-giok, “Apakah kau periksa dengan teliti keadaan di sekeliling sini?”
“Sudah, sudah ku periksa,” jawab Pwe-giok, “tapi tidak kutemukan sesuatu yang mencurigakan.”
Tangkwik siansing berkerut kening, katanya, “Wah, kalau begitu kita harus tambah hati-hati, bisa jadi mereka bertiga sedang main gila dan mengatur sesuatu.”
Pwe-giok mengangguk, lalu ia berseru dengan suara lantang ke atas puncak, “Ji Pwe-giok telah datang menurut waktunya, silahkan kalian keluar saja.”
Baru senyap suaranya, segera sesosok bayangan orang muncul di puncak gunung, itulah dia Ji Hong-ho gadungan alias Ji Tok-ho.
Menyusul dari balik batu karang sana melayang keluar pula Ki Go-ceng dan Ki Pi-ceng, keduanya melayang secepat terbang menuju ke sini.
Dengan suara tertahan Tangkwik-siansing mendesis, “Kau tahu, di atas gunung ini tidak sedikit liang tikus, dari liang tikus itulah mereka muncul.”
Tidak lama, Ki Go-ceng dan Ku Pi-ceng telah melayang tiba di hadapan mereka.
Dengan sorot mata tajam Ki Pi-ceng memandang Ji Pwe-giok, ucapnya, “Apakah masih ingat apa yang kukatakan padamu, di lorong bawah tanah sana ?”
“Maksudmu tentang perintahmu agar kubunuh Tangkwik-siansing?” tanya Pwe-giok.
“Ya, kecuali itukan masih ada urusan lain lagi,” kata Ki Pi-Ceng.
“Tentu saja kuingat dengan baik,” ujar Pwe-giok, “kalau saja permainan sandiwara suamimu yang pura-pura sudah mati itu tidak terbongkar dan juga catatan dalam buku Giam-ong ceh yang cukup terang dan gamblang itu, mungkin sampai saat ini aku tetap tidak dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan.
“Hm,” dengus Ki Pi-ceng, “kau masih muda belia, apakah urusan Giam ong ceh itu tidak kau rasakan sebagai tindakan yang keterlaluan?”
“Tapi kalau dibandingkan dengan cara kalian mengerjai ayahku yang kini sudah almarhum, kukira masih selisih sangat jauh,” jawab Pwe-giok dengan ketus.
“Juga tidak kau pikirkan bahwa perbuatanmu itu akan menimbulkan rasa gusar setiap orang bulim yang bersangkutan?” jengek pula Ki Pi-ceng.
“Sudah barang tentu telah kupikirkan,” kata Pwe-giok, “demi kebenaran dan keadilan, hakekatnya tidak pernah kupikirkan apa akibatnya.”
“Ya, apapun juga, lebih dulu harus kukagumi kegagahanmu dan keberanianmu,” kata Ki Pi-ceng. “Tapi, sekarang dosamu sudah tak terampunkan, hari ini juga tidak dapat kau lolos dari peradilan umum.”
“Justru kuharap akan mendapatkan peradilan umum,” ujar Pwe-giok dengan tersenyum, “cuma, segala urusan kalau sudah ada prasangka, tentu juga perlu dipikirkan kemungkinan yang paling buruk. Untuk itu kukira Ki-hujin sudah memahami maksudku.”
“Maksudmu, apa bila hari ini kami tidak dapat mengalahkan kau, lalu apa yang harus kami lakukan, begitu?” tanya Ki Pi-ceng.
“Betul,” jawab Pwe-giok.
Ki Pi-ceng mendengus, “Hm, itu kan urusan kami dan tidak perlu kau kuatir.”
Sampai di sini ia lantas berpaling ke arah Tangkwik siansing dan berkata padanya, “Pokoknya urusan hari ini adalah perkara yang harus diselesaikan secara tuntas, betul tidak, Tangkwik-siansing?”
“Tentu saja,” jawab Tangkwik-siansing, “memangnya kau kira aku sudah pikun sehingga tidak dapat melihat keadaan?”
“Sebab itulah pada saat terakhir masih ingin ku peringatkan padamu, mudah-mudahan kau tidak terlibat dalam perkara yang tidak enak ini, hendaklah camkan dengan baik,” kata Ki Pi-ceng.
“Aku tidak perlu pikir, juga tidak perlu mencamkan apa pun,” jawab Tangkwik-siansing, “pendek kata, urusan ini sudah pasti aku akan ikut campur.”
“Baiklah jika begitu,” kata Ki Pi-ceng, “Yang pasti hari ini tiada satupun diantara kalian yang dapat lolos.”
Tangkwik-siansing tertawa lebar, katanya “Orang tua semacam diriku ini masakan dapat digertak, kau kira ucapan Ki-hujin barusan ini agak terlalu berlebihan.”
Ki-Pi-ceng mendengus dan tidak menghiraukannya lagi. Ia berpaling dan memberi isyarat tangan kepada Ji Hong-ho gadungan yang berdiri diatas puncak sana.
Seketika Ji Hong-ho gadungan alias Ji Tok-ho mengibarkan sebuah panji dan diayun tekanan dan ke kiri.
Itulah panji kebesaran Bu lim-bengcu, ketua perserikatan dunia persilatan, panji kebesaran hanya digunakan pada waktu perlu memberi perintah kepada para jago dunia persilatan. Panji ini mewakili kekuasaan Bu-lim-bengcu, pada waktu panji itu berkibar dan digoyangkan, setiap jago silat harus tunduk dan menurut perintah, disuruh matipun tidak boleh menolak.
Dalam sekejap itu, berbareng dengan berkibarnya panji kebesaran itu, serentak terompetpun berbunyi sahut menyahut di sana sini, suasana pegunungan yang tadinya sunyi serentak bergemuruh dengan munculnya jago silat yang tak terhitung banyaknya, mereka muncul secara aneh seperti badan halus saja, entah muncul dari mana, jumlahnya tampaknya tidak kurang daripada tiga-empat ratus orang.
Jago silat yang muncul ini sangat lengkap, meliputi para ketua dari ke-13 aliran besar dunia persilatan yang dahulu ikut hadir dalam pertemuan besar Wi-ti-tayhwe, inilah adegan paling ramai semenjak pertemuan Wi-ti dahulu.
Air muka Ki-Pi-ceng menampilkan perasaan senang dan bangga, katanya, “Nah sudah kau lihat sendiri bukan, Tangkwik-siansing? Dalam keadaan demikian, bagaimana akibatnya nanti tentu dapat kalian bayangkan sendiri.”
Tangkwik-siansing mengelus jenggotnya yang lebat itu, katanya seperti berguman, “Wah, tampaknya pengaruh kalian masih cukup besar juga, sungguh sangat mengejutkan.”
“Bisa jadi kau akan menyesal nanti,” ujar Ki Pi-ceng, “tapi akupun merasa menyesal bagimu, sebab sekarang pun sudah terlambat”
Habis berkata, panji kebesaran Bu-lim tadi diayun pula berapa kali.
Inilah tanda memberi perintah agar para jago Bu-lim siap bergerak, atau dengan perkataan lain perintah melancarkan serangan, hanya boleh maju dan tidak boleh mundur.
Diam-diam pihak Ji Pwe-giok sendiri sama terkejut. Apabila kawanan jago Bu-lim itu bergerak serentak dan membanjir tiba, sungguh sukar dibayangkan entah betapa akan terjadi banjir darah.
Akan tetapi, kejadian di luar dugaan telah timbul.
Jago silat yang muncul membanjiri lereng pegunungan itu ternyata tidak memperdulikan tanda kibaran panji kebesaran itu, semuanya anggap sepi saja, seperti kedatangan mereka hanya untuk menonton keramaian saja dan tiada sangkut paut apapun dengan keadaan ini,
Dengan kuat Ji Tok-ho telah mengayun panjinya lagi dengan lebih keras sehingga menimbulkan suara menderu.
Akan tetapi, biarpun Ji Tok-ho telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya sehingga panji itu hampir saja tergetar patah, namun para jago silat yang muncul itu tetap tidak menggubrisnya.
Mendadak Ji Tok-ho menggulung panjinya dan meraung gusar, “Kurang ajar! Kalian berani membangkang terhadap perintah Bu-lim-bengcu dan meremehkan panji kebesaran ini?”
Keras suaranya dan mendengung-dengung sampai sekian lama diangkasa pegunungan, tentu saja dapat didengar oleh setiap orang.
Namun semua orang tetap tidak menghiraukan teriakan Ji Tok-ho itu, sejenak kemudian bahkan seorang menanggapi dengan suara lantang ditengah orang banyak itu.
“Tapi sayang, kau bukan Hong-ho Lojin yang tulen melainkan Ji Tok-ho, adiknya yang sudah diusir dan terkenal sebagai bandit It-ko-yan di gurun pasir, malahan kau rela menjadi boneka Ki Go-ceng dan Ki Pi-ceng suami-istri. Setelah kami tahu duduknya perkara dan dapat membongkar rahasia dirimu yang sebenarnya, memangnya kau kira kami masih dapat kau perintah dan kau peralat sesukamu?”
Seketika Ji Tok-ho melenggong dan tidak sanggup bersuara.
Ki Pi-ceng dan Ki Go-ceng juga melengak dengan air muka pucat, entah kejut entah gusar, yang jelas tubuh mereka agak gemetar.
Semua ini menandakan bahwa segala urusan Kangouw yang misterius dan serba rahasia, namun kebenaran dan keadilan selalu hidup dengan abadi, pada detik yang paling gawat kebenaran dan keadilan pasti akan muncul.
Tidak kepalang terharu Ji Pwe-giok, emosinya bergolak, air matanya bercucuran, sudah cukup lama ia menderita, sudah kenyang ia tersiksa lahir dan batin, dan baru sekarang semua siksa derita itu mendapatkan keadilan.
Tangkwik-siansing mengelus jenggotnya, sambil bergelak tertawa, katanya, “Nah, Ki-hujin, perubahan yang luar biasa ini bukan saja bagiku, bahkan juga sangat diluar dugaanmu bukan?”
Ki Pi-ceng mendengus, katanya “Hm, kaupun tidak perlu bergembira dulu, kecuali darah Bak-giok Hujin berhamburan di sini, berapapun utang-piutang ini tetap harus ku tuntut dan perlu diselesaikan secara tuntas.”
Mendadak Ki Go-ceng meraung murka, ia menubruk maju terus menghantam Tangkwik-siansing sepenuh tenaga.
Tangkwik-siansing tidak menangkis juga tidak balas menyerang, ia melayang mundur cukup jauh, matanya yang kecil bulat itu mendelik, ejeknya “Eh, anak kecil, utang piutang ada yang bertanggung jawab, kalau sekarang anak muda ini sudah tampil sendiri, mengapa diriku yang kau jadikan sebagai sasarannya?”
Ucapan Tangkwik-siansing ini membikin Ki Go-ceng melengak dan serba salah.
Pwe-giok lantas melangkah maju dan berkata, “Ucapan Tangkwik-locianpwe memang betul, yang bertanggung-jawab dalam urusan ini ialah diriku, silahkan kau serang saja padaku.”
Ki Go-ceng menyeringai, ucapnya, “Baik, tidak nanti kumampuskan kau sekarang juga, pasti akan kubawa kau kembali ke gua dan akan ku kerjai kau di sana, tempo hari aku telah satu kali kehilangan kesempatan, sekali ini tidak nanti kusia-siakan lagi.”
Habis berkata, mendadak kedua tangannya menolak ke depan, begitu keras tenaga pukulannya sehingga menimbulkan deru angin yang dahsyat, kontan ia hantam lawan tanpa kenal ampun lagi.
Akan tetapi Pwe-giok sudah siap, segera ia sambut pukulan orang, kedua telapak tangannya juga mendorong ke depan.
“Blang!”
Dua tenaga tak kelihatan beradu dan menimbulkan getaran dahsyat…
Apa yang itu hanya berlangsung dalam sekejap saja, terdengar jerit ngeri Ki Go-ceng seperti layangan yang putus benangnya, tubuhnya mencelat ke sana dan jatuh terjungkal beberapa meter jauhnya dengan tumpah darah dan binasa.
Pada waktu putus napasnya dia masih juga mendelik, seakan-akan merasa penasaran mati terkena pukulan Ji Pwe-giok itu.
Seketika Ki Pi-ceng berdiri melenggong, terkesima seperti mendengar bunyi geledek disiang bolong.
Meski resminya dia dan Ki Go-ceng adalah saudara sekandung, tapi juga ada hubungan erat sebagai suami-istri, tentunya pedih hatinya menyaksikan kematian Ki Go-ceng yang mengerikan itu.
Tapi ketenangannya sungguh luar biasa dan mengherankan, kecuali kelihatan pundaknya gemetar sejenak, sama sekali tidak ada pergolakan perasaan lagi.
Dia pandang Ji Pwe-giok dengan penuh rasa benci dan dendam, ucapnya, “Baru berpisah beberapa hari, ternyata kau sudah lain daripada dulu agaknya Bu-siang-sin-kang sudah berhasil kau kuasai.”
Betul, semua ini berkat bantuan Tangkwik-lociapwe,” jawab Pwe-giok.
“Wah, anak muda,” teriak Tangkwik-siansing “masa sengaja kau alihkan urusanmu kepadaku, kalau dia marah padaku dan mendadak melancarkan serangan dengan ilmu kebanggaannya Sian-thian-ceng-gi, sekali pukul aku bisa dibuatnya mencelat.”
Pwe-giok dapat menangkap maksud ucapan si kakek, yaitu sama dengan memperingatkan dia agar waspada terhadap serangan mendadak Ki Pi-ceng.
Benar juga, seperti apa yang diduga Tangkwik-siansing, pada saat itu Ki Pi-ceng telah mengerahkan tenaga dalam Sian-thian-ceng-gi, dengan dahsyat ia hantam Pwe-giok.
Akan tetapi karena lebih dulu sudah diperingatkan oleh Tangkwik-siansing, diam-diam Pwe-giok sudah siap, segera ia sambut serangan lawan.
“Blang”, terjadi benturan keras antara dua tenaga yang maha dahsyat, suara yang menggelegar memekak telinga.
Adu kekuatan ini jelas tidak sama dengan serangan Ki Go-ceng tadi.
Sian-thian-ceng-gi dan Bu-siang-sin-kang adalah tenaga dalam yang sama-sama maha dahsyat, kekuatan benturan itu sungguh luar biasa seakan-akan menggoncang bumi, getaran yang timbul juga sangat hebat dengan arusnya yang menyerupai angin lesus, debu pasir bertebaran meliputi belasan meter di sekitar situ.
Perlahan kabut debu mulai buyar, di tengah kabut yang mulai menipis itu kelihatan dua sosok bayangan yang sama bergoyang-goyang berdiri Pwe-giok tampak kurang mantap, sebaliknya Ki Pi-ceng merasa darah dalam rongga dadanya bergolak dan seakan-akan menumpah keluar.
Tangkwik-siansing menyaksikan itu dengan tertawa lebar.
Meski sedapatnya Ki Pi-ceng bersikap tenang dan berlagak seperti tidak terjadi apapun, tapi tidak urung sorot matanya menampilkan juga rasa kejut luar biasa.
Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa yang dihadapinya adalah Ji Pwe-giok yang dilihatnya beberapa hari yang lalu. Tidaklah mengherankan jika dalam waktu yang sesingkat ini Pwe-giok berhasil meyakinkan Bu-siang-sin-kang, yang sukar dimengerti adalah dalam waktu sesingkat ini dia sudah memiliki kekuatan sehebat ini, bagi orang lain hal ini tidak mungkin terjadi tanpa melalui latihan selama berpuluh tahun lamanya.
Sian-thian-ceng-gi, ilmu kebanggaan Ki Pi-ceng sebelum ini boleh dikatakan jarang ada tandingannya di dunia persilatan kecuali seorang dua orang saja diantaranya Tangkwik-siansing yang dapat melawannya, tapi sekarang dia benar-benar ketemu lagi seorang lawan mau.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak murka dari kejauhan, sesosok bayangan kelabu melayang tiba dari puncak gunung, hanya sekejap saja bayangan itu sudah hinggap di depan Ki Pi-ceng.
Nyata pendatang ini bukan lain daripada Ji Tok-ho adanya.
Dia telah kehilangan wibawa sebagai Bu-lim-bengcu, perintahnya tidak diturut lagi oleh jago persilatan, tentu saja ia menjadi kalap, matanya merah membara, dengan sorot mata beringas ia mendelik Ji Pwe-giok.
“Eh, tidak perlu kau bersikap sebuas itu,” ejek Tangkwik-siansing dengan tertawa. “Jelek-jelek anak muda itu sudah banyak membantu padamu, selayaknya kau berterima kasih padanya.”
Mendadak Ji Tok-ho berpaling dan mendamprat, “Tua bangka, apa maksud ucapanmu ini?”
Tangkwik-siansing menuding mayat Ki Go-ceng, lalu berkata pula, “Anak muda itu telah membinasakan sainganmu, selanjutnya kau dapat menggantikannya sebagai anggota keluarga Ki, hubunganmu dengan Ki-hujin tidak perlu lagi dilakukan secara gelap-gelapan.”
Rupanya perkataan Tangkwik-siansing itu terlalu menyinggung perasaan, Ki Pi-ceng tidak tahan lagi dia lantas menyerang.
Karena Tangkwik-siansing dan Ki Pi-ceng telah bergebrak, “creng”, segera Ji Tok-ho juga melolos pedangnya.
“Sret-sret-sret”, kontan pedangnya berputar dan melancarkan beberapa kali tebasan ke arah Pwe-giok.
Sekarang dia telah kembali lagi kepada kebuasannya sebagai bandit “It-ko-yan” digurun pasir, dia menyerang dengan kalap seakan-akan Ji Pwe-giok hendak diganyangnya mentah-mentah kalau bisa.
Sampai belasan kali Pwe-giok harus berkelit kesana dan mengegos ke sini, lalu sempat meloloskan pedangnya.
Serentak ia putar pedangnya, dengan jurus “Boan-thian-sing-tau” atau bintang bertaburan memenuhi langit, tertampak cahaya pedang gemerlapan memburu ke arah musuh.
Seketika bergemuruhlah suara sorakan orang banyak. Beratus pasang mata sama tertarik oleh pertarungan sengit yang mendebarkan hati ini, semuanya mengikuti pertempuran maut itu dengan menahan napas, suasana sunyi senyap sehingga deru angin yang ditimbulkan oleh sambaran pedang terdengar dengan jelas.
“Sret-sret, sret-sret-sret.” Sinar pedang sambar-menyambar.
Lambat-laun dua gulung cahaya pedang seolah-olah terbaur menjadi satu dan terbentuk sinar tirai pedang yang tebal. Ditengah tirai sinar pedang itu samar-samar hanya kelihatan dua sosok bayangan yang bergeser kian kemari dan sukar lagi dibedakan mana bayangan Ji Tok-ho dan Ji Pwe-giok.
Sekonyong-konyong ditengah tabir sinar pedang itu terdengar suara nyaring.
Suaranya melengking seperti bunyi ular naga, tertampak sejalur sinar putih menjulang tinggi ke angkasa, bayangan orang dibalik tabir cahaya pedang lantas terpencar. Pedang yang dipegang Ji Tok-ho ternyata sudah terkutung, hanya tinggal tangkainya saja yang terpegang, ia berdiri melenggong dengan mandi keringat.
Rupanya dalam sekejab tadi Ji Pwe-giok telah menggunakan tenaga sakti Bu-siang-sin-kang, kalau tidak, sukar untuk menggetar patah pedang Ji Tok-ho yang juga tidak kurang lihainya itu.
Agaknya tenaga dalam antara Siau-thian-ceng-gi Ki Pi-ceng dan Bu-siang-sin-kang Tangkwik-siansing sukar ditentukan unggul dan asor, maka pertarungan kedua orang itu sudah berhenti dan sedang mengawasi hasil pertarungan sebelah sini.
Saat itu tiada seorangpun yang bersuara, semuanya terkesima sehingga suasana sunyi senyap.
“Tangkap pedang ini,” tiba-tiba Pwe-giok melemparkan pedangnya ke depan Ji Tok-ho.
Lalu dengan penuh rasa pedih dan gemas anak muda itu berkata pula, “Kutahu engkau adalah pamanku, tapi tindak-tandukmu, perbuatanmu, telah merusak nama baik keluarga Ji yang sudah turun temurun.”
Kedua mata Ji Tok-ho tampak merah, seperti orang kalap, ia hanya mendelik dan tidak bersuara.
Pwe-giok lantas berkata pula, “Mengingat leluhur keluarga Ji, baik atau jelek kau adalah keturunan orang she Ji dan masih terhitung pamanku, maka aku tidak dapat turun tangan membunuhmu, sekarang kuberikan pedangku, dan boleh kau bereskan dirimu sendiri.”
Air muka Ji Tok-ho tampak berubah, sebentar merah, sebentar pucat dan saat lain menjadi hijau, siapapun tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya dan apa yang hendak dilakukannya.
Suasana menjadi hening, tiada seorangpun bersuara, semuanya menahan napas dan ingin tahu apa kelanjutan daripada pertunjukan ini dan bagaimana pula akhirnya.
Akhirnya Ji Tok-ho menjemput pedang di depannya dengan perlahan.
Sekonyong-konyong pada saat Ji Pwe-giok tidak berjaga-jaga, mendadak ia menubruk maju, secepat kilat pedangnya menusuk.
Serentak bergema teriakan kaget orang banyak, suasana rada gempar.
Serangan yang dilakukan Ji Tok-ho sangat cepat, yang digunakan juga jurus maut yang sukar diduga. Ji Pwe-giok sendiri tidak siap siaga, maka banyak yang menduga anak muda itu pasti akan termakan tusukan Ji Tok-ho, semuanya berkuatir baginya.
Di bawah berkelebatnya sinar pedang, terdengar Pwe-giok mendengus tertahan. Berbareng itu semua orang merasakan serangkum angin maha dahsyat menumbuk ke bahu kanan Ji Tok-ho, apa yang terjadi ini hanya berlangsung dalam sekejap saja, sedetik kemudian lantas berakhir.
Rupanya ada orang yang ikut turun tangan, ialah Tangkwik-siansing.
Ia merasa Ji Pwe-giok takkan sempat menghindarkan serangan licik Ji Tok-ho itu, mau tak mau ia harus turun tangan menolongnya, maka cepat ia melancarkan pukulan Bu-siang-sin-kang.
Tenaga Bu-siang-sin-kang tak terperikan hebatnya, Ji Tok-ho tergetar hingga terhuyung-huyung ke belakang, dan karena itu pula Ji Pwe-giok hanya terluka ringan oleh sergapan Ji Tok-ho itu, hanya lengannya luka tertusuk.
Mata Tangkwik-siansing yang kecil bulat itu melototi Ji Tok-ho dengan sorot mata tajam, bentaknya, “Ji Tok-ho, sungguh bagus seranganmu ini, jika kau berani mengaku sebagai seorang ksatria, maka selayaknya lekas kau bunuh diri sekarang juga”
Kedua mata Ji Tok-ho merah seakan-akan menyemburkan api, katanya sambil menyeringai, “Hmm, kau kira aku akan mati begitu saja menurut kehendakmu? Andaikan mati, perlu juga kucari dua orang pengganjal punggungku, dan orang pertama yang ku penujui ialah dirimu ini.”
“Haha, bagus, bagus sekali!” seru Tangkwik-siansing sambil bergerak, “memangnya akupun ingin memberi bantuan kepada anak muda ini, sekarang kau yang minta aku turun tangan, biarlah kuwakilkan dia memberantas manusia tidak tahu malu dan sampah dunia kangouw macam kau ini.”
Ji Tok-ho tertawa latah, teriaknya, “Hehe, baik juga, akan kukabulkan kehendakmu supaya leas kau naik surga.”
Baru habis ucapannya, kembali ia berputar, sekaligus pedangnya ikut bekerja terus menabas ke atas kepala Tangkwik-siansing.
Kakek kecil itu melayani musuh dengan bertangan kosong, tapi sedikitpun dia tidak berani gegabah.
“Sret-sret-sret”, Ji Tok-ho melancarkan beberapa kali serangan maut, ia tahu pertarungan ini menentukan mati dan hidupnya, sebab itulah segenap kepandaiannya telah dikeluarkannya.
Dalam sekejap itu sinar pedang berhamburan, angin pukulan menderu, kedua orang sama-sama melancarkan serangan mematikan.
Terdengar pula gemuruh orang menjerit kaget.
“Ciatt.”
“Blang” dan “Bluk”
Seketika terdengar pula suara ramai di sana sini, suara yang berbeda.
Inilah hasil serangan maut kedua orang yang dilontarkan, akibatnya jubah kelabu Tangkwik-siansing tertabas robek lengan bajunya, tapi tidak terluka, sebaliknya Ji Tok-ho dengan telak terkena pukulan si kakek, tenaga pukulan Bu-siang-sin-kang yang dahsyat itu telah membikin Ji Tok-ho mencelat jauh ke sana, darah segar tersembur dari mulutnya, belum lagi terbanting jatuh ke tanah sudah mati lebih dulu dengan isi perut hancur lebur.
Serentak terdengar suara sorak-sorai gemuruh di lereng pegunungan itu.
Ji Pwe-giok berdiri tegak dengan melenggong, tak keruan perasaannya dan sukar untuk dijelaskan.
Pada saat itulah, sekonyong-konyong Ki Pi-ceng melayang pergi, dengan gerakan It-ho ciong-thian atau burung bangau terbang ke langit, ia melayang tinggi ke depan sana untuk kemudian terus meluncur ke bawah gunung.
Cepat Tangkwik-siansing berteriak dengan kuatir, “Jite, hendaklah kau temani anak muda ini pergi mencari Lengkui, anak dara she Cu itu masih berada dalam cengkeramannya dan mungkin jiwanya terancam bahaya.”
Ji Pwe-giok dan Tangkwik Ko mengiakan bersama, segera mereka berlari pergi ke arah gua di bawah tanah sana.
Sedangkan Tangkwik-siansing dan Hong Sam juga lantas melayang secepat terbang ke sana, mereka mengejar ke arah larinya Ki Pi-ceng. Betapapun mereka tidak dapat membiarkan Ki Pi-ceng lolos begitu saja.
Para jago Bu-lim yang ikut menyaksikan pertarungan sengit itu kini secara otomatis telah terpecah menjadi dua kelompok, yang satu kelompok ikut pergi bersama Ji Pwe-giok, sedangkan kelompok lain ikut Tangkwik-siansing, semuanya ingin menyaksikan pula bagaimana akhir dari permainan yang belum tamat ini.
—–
Batu besar yang menutup mulut gua di bawah tanah itu sangat menyolok sehingga dengan mudah dapat ditemukan oleh Ji Pwe-giok.
Disekitar mulut gua itu berserakan batu padas yang aneh ragamnya, suasana sepi dan sunyi.
Pwe-giok sangat menguatirkan keselamatan Cu Lui-ji, ia tak sabar lagi, tanpa pikir ia hantam sekuatnya.
“Blang”, suara gemuruh menggetar lembah gunung, batu padas yang menutup mulut gua itu hancur berkeping dan berserakan.
Di dalam gua sangat gelap, meski mereka coba mengamati dengan segenap ketajaman mata mereka tetap tidak melihat keadaan didalam.
Sekonyong-konyong dari dalam gua berkumandang suara seorang yang dingin dan kaku, “Siapa itu yang berada di luar, berani kau datang cari perkara kepada Lengkui?”
“Lekas lepaskan Cu Lui-ji, kalau tidak, gua setan ini akan kuruntuhkan,” ancam Pwe-giok dengan gemas.
“Hah, memangnya kau kira Lengkui dapat kau gertak?” jengek Lengkui di dalam gua, “Jika kau tidak takut anak dara yang cantik ini akan ikut terkubur hidup-hidup disini, boleh saja kau coba runtuhkan gua ini, tapi apapun juga sebentar tetap aku akan keluar untuk belajar kenal denganmu.”
“Sicek…” terdengar teriakan Lui-ji dengan suara tersendat, mungkin menangis saking girangnya.
Mendadak dari dalam gua mengepulkan asap hijau tebal, cepat Pwe-giok melompat mundur.
Sejenak kemudian setelah asap hijau itu buyar, tahu-tahu Lengkui sudah berdiri di depan Pwe-giok. Cu Lui-ji tampak berada di samping Lengkui, tapi urat nadi pergelangannya terpencet olehnya sehingga tak dapat berkutik.
Di bawah terik matahari Lengkui tetap kelihatan seram menakutkan, lebih-lebih mukanya yang pucat seperti mayat itu, tetap menampilkan senyuman yang kaku atau lebih tepat dikatakan menyeringai,
“Lepaskan dia!” bentak Pwe-giok sambil menuding lawan.
“Haha, lepaskan dia, kau kira harus ku turut perintahmu?” ejek Lengkui. “Apakah kau tahu bahwa semalam Hong Sam telah datang dan pulang dengan tangan hampa, sekarang kaupun coba-coba datang kemari?”
“Pendek kata, sekarang juga harus kau lepaskan dia atau kubinasakan kau!” ancam pula Pwe-giok dengan beringas.
“Hmm. boleh saja kau coba,” jawab Lengkui, untuk membebaskan anak dara ini lebih dulu harus kau bunuh Lengkui, tapi hendaklah kau ketahui, selamanya Lengkui tak dapat mati terbunuh.”
Betapapun Pwe-giok menyadari sukar menghadapi makhluk yang serba aneh ini, akan tetapi apa pun juga dia ingin mencoba Bu-siang-sin-kang terhadap makhluk aneh yang tidak takut terhadap senjata tajam ini, Namun karena Lengkui memegangi Lui-ji dengan erat, iapun kuatir kalau-kalau Bu-siang-sin-kang akan mencelakai anak dara itu.
Lui-ji sendiri kelihatan kuatir dan takut, tampak sangat kasihan, nyata, baru berpisah beberapa hari, anak dara itu sudah jauh lebih kurus.
Dalam keadaan demikian Pwe-giok benar-benar mati kutu dan tak berdaya, sebab itulah iapun sengaja main ulur waktu untuk mencari kesempatan.
Pada saat itulah, tiba-tiba kucing hitam yang selalu dibawa Tangkwik Ko itu bersuara “meong-meong” beberapa kali terhadap Cu Lui-ji, agaknya binatang kecil ini sudah kenal baik dengan anak dara itu.
Mendengar suara kucing hitam itu, Lengkui kelihatan melengak.
Pwe-giok merasa ada kesempatan baik, tanpa ayal lagi segera ia turun tangan.
Tenaga pukulannya menggoncang bumi, sinar pedangnya mengejutkan setan.
Walaupun menyadari pedangnya mungkin tak dapat melukai Lengkui, tapi dia tetap menggunakan pukulan dan senjata sekaligus, sebab selain ini dia tidak mempunyai akal lain lagi.
Serangan hebat dan cepat ini menimbulkan ancaman besar juga terhadap Lengkui, mau tak mau membuatnya rada kelabakan.
Tapi Lengkui tetap Lengkui, dengan gerakannya yang lincah dan cepat, terkadang menghilang dan lain saat muncul, kalau terpaksa tidak dapat menghindar lagi, dengan tabah ia biarkan dirinya dilukai oleh pedang Pwe-giok, bahkan ia terima serangan lawan dengan tertawa.
Sungguh ngeri Pwe-giok menghadapi lawan yang tidak kenal mati ini, sedangkan Cu Lui-ji ketakutan hingga menjerit-jerit.
Dalam sekejap saja ratusan jurus sudah berlangsung dan Ji Pwe-giok tetap tidak dapat mengalahkan lawan.
Sungguh celaka, kalau keadaan demikian berlangsung terus, biarpun seribu jurus juga tetap begini, biarpun sehari semalam juga tiada gunanya, sebaliknya tenaga Pwe-giok pasti akan terkuras habis.
Wajah Lui-ji menampilkan rasa putus asa, ia berteriak, “Sudahlah, lekas kau lari saja dan jangan… jangan menghiraukan diriku lagi… kalian… kalian bisa kehabisan tenaga dan roboh sendiri jika harus bertempur cara demikian.”
Tangkwik Ko tampaknya sangat prihatin, kucing hitam dalam pangkuannya tampak gelisah juga dan berulang bersuara “meong-meong” terhadap Cu Lui-ji bahkan berlagak seperti hendak menubruk ke arah Lengkui.
“Jangan kuatir, Lui-ji!” seru Pwe-giok sambil bertempur, “tenanglah kau, apa pun juga pasti akan kuselamatkan kau dari cengkeraman siluman ini.”
“Oo…!” tidak kepalang terharu Lui-ji, air matanya bercucuran seperti hujan.
Tangkwik Ko masih berdiri termenung di tempat semula, melihat gelagatnya, agaknya dia juga memikirkan akal agar dapat melayani Lengkui dengan tepat.
Sekonyong-konyong terjadi sesuatu yang tidak terduga…
Lengkui kelihatan berdiri diam di tempatnya, mulutnya tampak komat-kamit, entah lagi bicara dengan siapa, sebaliknya tidak menghiraukan terhadap ancaman pedang Ji Pwe-giok.
Tentu saja Ji Pwe-giok jadi melengak malah, segera iapun berhenti menyerang dan ingin tahu permainan apa yang hendak dilakukan lawan.
Selang sejenak, setelah berkomat-kamit pula dan termenung sejenak, lalu pandangan Lengkui perlahan beralih ke arah Ji Pwe-giok, katanya, “Ji-kongcu, ingin kuberitahukan sesuatu kabar buruk padamu.”
“Kabar buruk apa?” tanya Pwe-giok. “Persetan dengan kabar burukmu?!”
“Tadi Lengkui sedang mendengarkan perintah dari Ki-hujin” tutur Lengkui. “Apakah kau tahu perintah apa yang diberikannya kepadaku?”
“Huh, omongan setan yang hanya dapat kau pahami sendiri, siapa perduli?” damprat Pwe-giok
Lengkui menuding Lui-ji yang masih dipegangnya dan berkata, “Ki-hujin bilang anak dara ini sudah kehilangan daya gunanya, maka tidak perlu dipikirkan lagi, Lengkui diperintahkan segera membunuhnya.”
Pwe-giok terkejut sehingga menyurut mundur, ancamnya, “Kau berani?!”
“Hah, kenapa aku tidak berani, memangnya ku takut padamu?” ucap Lengkui dengan tertawa, “yang benar, aku rada tidak tega, tidak sampai hati membunuh seorang nona secantik ini, sungguh kasihan.”
Sembari bicara ia terus melolos golok melengkung yang terselip pada ikat pinggangnya sehingga menimbulkan cahaya gemerlapan.
“Tapi apa dayaku?” ucap Lengkui pula sembari mengacungkan goloknya, “Lengkui harus melaksanakan tugas, harus taat kepada perintah sang majikan.”
Cara bicara makhluk aneh ini masih tetap dingin dan kaku, di tengah bicara inilah, mendadak goloknya membacok ke kuduk Cu Lui-ji.
Untunglah, pada detik berbahaya itu, setitik sinar perak mendadak menyambar tiba secepat kilat.
Itulah pedang Ji Pwe-giok, dengan kecepatan luar biasa, tepat pada waktunya ia tangkis golok melengkung Lengkui.
“Creng”, terjadi benturan dan menimbulkan suara nyaring.
Seketika tangan Lengkui bergetar kesemutan, dia tergetar oleh tenaga dalam Ji Pwe-giok yang tersalur ke batang pedang dan mundur terhuyung-huyung.
Kejadian ini memberi kesempatan kepada Cu Lui-ji untuk meloloskan diri. Pada saat Lengkui lagi sempoyongan, sekonyong-konyong ia meronta sekuatnya dan melepaskan diri dari pegangan Lengkui, segera ia membalik tubuh dan berlari ke arah Pwe-giok.
Tapi dengan segera Lengkui sudah berdiri tegak lagi. Ia mendengus, “Hm, masakah ingin lari? Tidak ada orang yang mampu lolos dari cengkeraman Lengkui!”
Berbareng itu, dengan gerakan enteng dan cepat, seperti badan halus saja dia lantas melayang ke depan, selagi Cu Lui-ji masih berjarak sekian jauhnya dengan Ji Pwe-giok, tahu-tahu Lengkui sudah menyusul tiba.
Di tengah berkibarnya ikat pinggang yang merah itu, sinar perak juga lantas berkelebat dan menyambar.
Sungguh cepatnya sukar dilukiskan, sampai-sampai Pwe-giok juga tidak berdaya dan tidak sempat menolongnya.
Syukurlah, pada detik yang gawat itu, pada saat golok melengkung Lengkui menyambar tiba dan Lui-ji akan tertabas… “Siut”, mendadak sesosok bayangan hitam kecil menubruk ke arah Lengkui secepat anak panah.
Hah, kiranya si kucing hitam yang selalu berada dalam pondongan Tangkwik Ko itu.
Saat itu golok Lengkui sedang menabas ke bawah, tapi kucing hitam itupun tepat menubruk tiba, kontak kedua belah pihak itu terjadi dalam sedetik saja.
“Crat, meong!”
Kucing hitam bersuara ngeri dan jatuh terbanting!
Sungguh luar biasa, di tengah berhamburnya darah, kepala kucing itu terbelah dan cakarnya juga putus tertabas, dalam keadaan tidak terduga-duga, seluruh wajah Lengkui penuh berlepotan darah kucing hitam yang muncrat itu.
Lui-ji sempat merangkul badan binatang kecil itu, tapi binatang itu sudah tidak bergerak lagi.
Tak terduga, dalam sekejap itu telah terjadi keajaiban.
Mendadak Lengkui menjerit ngeri dan jatuh terguling-guling di tanah, tampaknya sangat tersiksa.
Kejadian ini membikin Lui-ji dan Pwe-giok heran. Ketika mereka memandang Tangkwik Ko, orang tua itu kelihatan berdiri tenang di sana dengan mengulum senyum dan berucap, “Omitohud! Siancai…siancai…”
Hanya dalam sekejap itu, di tengah kalangan telah terjadi pula perubahan yang lebih besar dan sama sekali tak terduga.
Mendadak Lengkui menghilang, telah luluh menjadi darah kental di atas tanah.
Pwe-giok memandang kian kemari, ia coba periksa sekitarnya.
Maklumlah, menghilangnya Lengkui itu adalah permainan yang biasa dilakukannya. Setelah menghilang mendadak, tahu-tahu muncul lagi di tempat lain dalam waktu singkat.
Dalam pada itu Tangkwik Ko telah mendekati Pwe-giok dan berkata padanya, “Jangan kuatir lagi, Ji-kongcu, selamanya Lengkui akan hilang dan takkan muncul kembali.”
Pwe-giok dan Lui-ji sama melenggong, mereka memandang orang tua itu dengan bingung.
Sambil membelai badan kucing hitam, Tangkwik Ko berkata, “Apa yang terjadi ini sungguh tak terduga oleh siapapun. Lengkui ternyata musnah oleh kucing hitam ini, darah kucing hitam inilah yang memusnahkan Lengkui secara tuntas”
Rupanya kepala kucing hitam yang terluka itu tidak sampai pecah melainkan cuma kulit kepalanya yang terkelupas, lukanya yang cukup parah adalah cakarnya yang tertabas buntung.
“Konon darah anjing hitam dapat melawan ilmu hitam, apakah darah kucing hitam juga dapat memunahkan ilmu sihir?” tanya Pwe-giok dengan heran.
“Tentu saja dapat, apa yang terjadi barusan bukankah suatu bukti nyata?” ujar Tangkwik Ko.
Dalam pada itu kelihatan Lui-ji lagi menggendong si kucing hitam dan berulang menciumnya dengan penuh kasih sayang, gumamnya, “O, kucing sayang, demi membela diriku, akhirnya kau menjadi korban dan cacat selama hidup”
“Meong, meong!” kucing itu bersuara jinak seperti mengerti ada orang sedang menyatakan kasih sayang padanya.
Pwe-giok memandang keadaan sekeliling, lalu bersama Tangkwik Ko dan Cu Lui-ji berlari ke puncak gunung.
Sembari berlari Lui-ji mengeluarkan obat luka untuk mengobati cakar kucing hitam yang buntung itu. Setiba di atas gunung, cakar si kucing sudah dibalut dengan baik.
Dari kejauhan Pwe-giok dapat melihat bayangan Tangkwik-siansing dan Hong Sam sedang berputar di lereng gunung sana dengan ginkang mereka yang tinggi. Segera Pwe-giok bertiga memburu ke sana.
Sesudah berhadapan, kejut dan girang Hong Sam tak terkatakan demi melihat Lui-ji telah tertolong tanpa kurang suatu apapun. Setelah diberitahu kejadian musnahnya Lengkui secara ajaib, mau tak mau Hong Sam dan Tangkwik-siansing sama melongo heran.
“Di manakah Ki Pi-ceng sekarang?” tanya Pwe-giok kemudian.
“Waktu kami menyusul sampai di sini, mendadak kehilangan jejaknya, bayangannya lenyap di sekitar sini, dapat dipastikan dia telah sembunyi lagi ke dalam liangnya” tutur Tangkwik-siansing.
“Ayolah lekas kita mencarinya, supaya tidak ada tempat yang terlampaui, marilah kita membagi diri menjadi beberapa arah untuk mencarinya, kalau terlambat mungkin akan terjadi hal lain yang tak terduga” kata Tangkwik Ko.
Serentak semua orang menyatakan setuju dan segera mereka terpencar sendiri-sendiri untuk mencari jejak Ki Pi-ceng, hanya Lui-ji saja yang mendampingi Pwe-giok.
—–
Di tepi puncak gunung itu adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya, sangat curam dengan macam-macam batu karang yang aneh.
Melihat keadaan setempat, dapat dipastikan puncak gunung ini hampir tidak pernah didatangi manusia, juga bersih dari jejak burung dan binatang buas.
Dengan susah payah mereka terus mencari, menyusur semak belukar…
Sekonyong-konyong terdengar suara teriakan kaget Tangkwik-siansing, “Hai, lekas kalian kemari, Ki Pi-ceng ternyata bersembunyi di sini”
Mendengar suara itu, cepat semua orang memburu ke arahnya.
Setelah berkumpul di situ, tertampaklah ada sebuah gua yang tertutup oleh semak rumput yang lebat, betapa dalamnya gua itu sukar diduga.
“Ya, apa yang dikatakan Tangkwik-locianpwe memang tidak salah, melihat semak rumput yang acak-acakan ini, jelas di sini pernah dilalui orang,” kata Pwe-giok.
“Kalau sudah tahu, ayolah ikut kakek masuk ke sana untuk mencari pengalaman,” ujar Tangkwik-siansing dengan tertawa.
Dengan hati-hati dan sambil menahan napas, semua orang ikut Tangkwik-siansing menerobos ke dalam gua.
Gua itu sangat gelap, seram lagi, tercium bau lembab yang menusuk hidung.
Mereka menyalakan obor, setelah membelok suatu tikungan di dalam goa, tiba-tiba tertampak Bak giok hujin alias Ki Pi-ceng yang mereka cari.
Memang benar, nyonya cantik dan juga keji ini memang bersembunyi di sini.
Anehnya Ki Pi-ceng tidak menghiraukan kedatangan mereka, ia duduk bersila di atas sepotong batu hijau, mata terpejam dan tanpa bergerak, sikapnya itu mengingatkan orang kepada kaum paderi yang sedang meditasi atau semedi.
Semua orang merasa curiga, merekapun siap siaga terhadap segala kemungkinan.
Jarak mereka dengan tempat duduk Bak giok hujin semakin dekat, dan nyonya cantik itu tetap diam saja tanpa memberi reaksi apa pun.
Setelah melenggong sejenak, tiba-tiba Tangkwik-sianseng menghela napas panjang, katanya dengan menyesal sambil menggeleng kepala, “Ai, tak tersangka dia telah membunuh diri.”
Semua orang sama melengak, cepat mereka memburu maju dan memeriksanya dengan teliti.
Benarlah, Ki Pi-ceng atau Bak-giok hujin sudah kaku walaupun masih tetap kelihatan sangat cantik, anggun, serupa pada waktu masih hidup.
Semua orang sama menghela napas menyesal, tak terduga perempuan cantik dan juga berhati keji itu mengakhiri hidupnya dengan jalan pendek demikian.
Dengan berbagai macam perasaan mereka lantas meninggalkan gua itu.
Setiba di mulut gua, tertampak kawanan jago persilatan beramai-ramai muncul pula memenuhi lereng gunung sana.
Waktu mereka sampai di atas puncak gunung, serentak terdengar gemuruh sorak-sorai orang banyak, sorak gembira yang gegap gempita.
“Hidup Ji Pwe-giok, Ji-kongcu!”
“Selamat Ji-kongcu!”
“Diharap Ji kongcu tampil sebagai Bu-lim bengcu yang baru! Kami siap tunduk di bawah perintahnya!”
“Hidup Bu-lim Bengcu baru!”
“Ji-kongcu harus meneruskan cita-cita Hong-ho Lojin dan menuntun dunia persilatan ke tertib baru!”
“Kami bersatu padu mendukungnya demi mengembangkan semangat dunia persilatan yang baru!”
“Hidup Bu-lim-bengcu!”
Demikian sorak sorai dan teriakan dukungan orang banyak itu terhadap Ji Pwe-giok terus berlangsung hingga sekian lamanya.
Tangkwik-siansing tersenyum gembira sambil mengelus jenggotnya yang panjang.
Akhirnya berlalu juga badai dunia persilatan yang cukup banyak menimbulkan korban itu.
Lalu bagaimana dengan dunia persilatan yang akan datang?
Siapapun tidak dapat memberi jawaban, manusia berusaha, Tuhan yang menentukan.
Hati manusia sukar diduga dan dapat berubah setiap saat, segala sesuatu bergantung pada kondisi dan keadaan.
Kini sakit hati kematian ayah Ji Pwe-giok sudah terbalas, biang keladi dari petaka ini sudah menerima ganjarannya yang setimpal.
Legalah hati Pwe-giok di samping timbul pula berbagai macam perasaan.
Teringat olehnya akan Lim Tay-ih.
Teringat pula masa depan dunia persilatan yang masih harus dibinanya.
Juga teringat olehnya tugasnya yang berat selanjutnya.
Dia terus melangkah ke depan, tidak jauh di belakangnya mengikut seorang nona dengan menggendong seekor kucing hitam, dia Cu Lui-ji yang baru saja lolos dari renggutan elmaut.
Entah bagaimana perasaan nona itu sekarang, akan tetapi satu hal yang pasti, yaitu, kemana pun Ji Pwe-giok pergi, kesana pula dia akan ikut, biarlah laut akan kering dan gunung akan runtuh, biarlah langit bertambah tua dan bumi bertambah gersang, biarlah segala apa di dunia ini akan berubah, akan tetapi hati Lui-ji, cintanya terhadap Ji Pwe-giok akan tetap abadi, takkan berubah selamanya.
TAMAT

SUMBER: http://ceritasilat.wordpress.com/2010/06/16/imbauan-pendekar-16/#more-1628

No comments:

Post a Comment